Sengkarut Tabrakan Kapal di Mahakam

Peristiwa

Polairud dan KSOP Samarinda Masih Selidiki, Pemilik KM Berkat Shinta Rugi Rp 1,8 Miliar

SUDUTKATA.COM, SAMARINDA – Tabrakan kapal di Sungai Mahakam yang terjadi pada 12 Januari 2025 belum juga menemui titik terang. Peristiwa yang melibatkan KM Berkat Shinta, milik Muhammad Musliadi alias Habib Adi, dan kapal tongkang bertuliskan Kalimantan Persada 01 milik PT Delta Ayu itu kini memasuki babak baru dengan tarik-menarik keterangan dan proses hukum yang tak kunjung rampung.

Polisi Perairan dan Udara (Polairud) Kutai Kartanegara (Kukar) masih terus mengusut perkara ini, meski upaya mediasi yang difasilitasi berulang kali tak menghasilkan kesepakatan.

“Kami sudah memeriksa saksi-saksi dan menjalankan prosedur sesuai PP Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal,” ujar penyidik Polairud Kukar, Ipda Agus Fahrur Rozi, melalui pesan WhatsApp kepada wartawan, Jumat, 2 Mei 2025.

Menurut Agus, berlarut-larutnya penanganan ini salah satunya disebabkan oleh keterlambatan pelaporan dari pihak korban. Laporan resmi dari Musliadi baru masuk lebih dari sebulan setelah kejadian, menyebabkan polisi tak bisa melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) secara optimal.

“Karena itu, bukti di lapangan tidak dapat kami kumpulkan secara langsung dan maksimal,” kata Agus.Agus juga menyinggung lemahnya koordinasi pelapor dengan instansi yang berwenang sejak insiden terjadi. Menurut dia, mestinya pelapor segera menghubungi Kepolisian dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) agar prosedur investigasi dapat berjalan lebih cepat.

“Seharusnya ada pelaporan dini ke Polri dan KSOP. Kalau tidak ada koordinasi dari awal, penanganan bisa terhambat,” ujarnya.

Di sisi lain, Habib Adi masih menyimpan harapan terhadap penyelesaian perkara ini. Ia mengaku pihak PT Delta Ayu sempat menunjukkan niat baik sesaat setelah kecelakaan terjadi.

“Saya langsung ke lokasi setelah kejadian. Kapal rusak parah dan sudah kemasukan air,” ujarnya ketika dihubungi wartawan. Tak lama setelah itu, kata dia, perwakilan dari PT Delta Ayu juga mendatangi lokasi.

Habib menyebut pihak perusahaan sempat mengajukan tawaran ganti rugi. Namun, jumlah yang ditawarkan disebutnya jauh dari cukup untuk menutup biaya perbaikan kapal.

“Makanya mereka sarankan untuk bawa kapal ke dok galangan supaya bisa dihitung langsung biaya perbaikannya,” katanya.Awalnya, ia mengaku ragu, tetapi mengikuti saran itu karena merasa perusahaan menunjukkan itikad baik. Apalagi, kondisi kapal saat itu memburuk dan dikhawatirkan akan tenggelam.

Namun belakangan, ia menduga tindakan itu adalah bagian dari strategi perusahaan untuk menghilangkan jejak kerusakan dari TKP. “Saya baru sadar kemudian, itu cara mereka untuk menghilangkan bukti dari pihak Polairud dan KSOP,” ujarnya.

Sejak itu, komunikasi dengan pihak PT Delta Ayu macet. Tak ada kelanjutan pembicaraan soal ganti rugi, apalagi realisasi perbaikan kapal.Habib Adi mengaku menderita kerugian besar. Tak hanya kerusakan fisik kapal, tapi juga pembatalan kontrak kerja yang telah dijalin. Selain itu, KM Berkat Shinta selama ini menjadi tumpuan logistik bagi Pondok Pesantren Al-Khair di Martapura.

“Dampaknya bukan cuma ke saya pribadi. Kegiatan sosial kami juga lumpuh,” ujar Habib.Ia memperkirakan total kerugian mencapai Rp 1,8 miliar. Jumlah itu mencakup biaya perbaikan, pendapatan yang hilang, dan dampak sosial terhadap komunitas yang bergantung pada operasional kapal.

Hingga berita ini diturunkan, manajemen PT Delta Ayu belum memberikan pernyataan resmi. Upaya wartawan menghubungi pihak perusahaan untuk konfirmasi tidak mendapat respons.Sikap diam ini menambah panjang daftar kebuntuan dalam penyelesaian perkara. Bahkan, dalam proses mediasi yang digelar Polairud, tak ada kesepakatan yang berhasil dicapai.

“Sudah kami fasilitasi mediasi, tapi belum ada titik temu,” kata Ipda Agus lagi.

Kepala Kantor KSOP Kelas I Samarinda, Mursidi, memastikan pihaknya siap menjalankan pemeriksaan sesuai dengan kewenangan mereka. Ia mengatakan, lembaganya akan membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus ini.

“Tim kami akan melakukan penyelidikan sesuai amanat PP No. 9 Tahun 2019,” ujarnya melalui pesan singkat.Sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas inspeksi awal kecelakaan kapal, KSOP memegang peran penting dalam mengarahkan penyelesaian hukum atas perkara ini.

Hingga kini, belum jelas siapa yang akan bertanggung jawab atas kerusakan kapal milik Habib Adi. Di tengah proses hukum yang berjalan lambat, pihak korban masih menanti kepastian hukum dan kompensasi yang pantas.

Kasus ini menjadi cerminan peliknya penyelesaian konflik di sektor transportasi air, khususnya di wilayah Sungai Mahakam yang menjadi jalur penting pengangkutan komoditas dan logistik di Kalimantan Timur.Di balik kapal-kapal yang melintas setiap hari, konflik kepentingan, kelalaian, dan lemahnya koordinasi antarlembaga bisa berujung pada kerugian besar bagi pelaku usaha kecil.

Tak hanya soal kerugian materi, insiden seperti ini juga memunculkan pertanyaan tentang efektivitas sistem penegakan hukum di wilayah perairan.

Masyarakat, terutama mereka yang menggantungkan hidup dari angkutan sungai, berharap kasus ini menjadi perhatian serius. Mereka menuntut ketegasan aparat, kejelasan regulasi, dan keberpihakan pada korban.

“Jangan sampai keadilan hanya berpihak pada yang punya kekuatan modal,” tutup Habib Adi. (MIFA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *