Hadapi Sengketa Informasi, Santi Minta Panduan Resmi Keterbukaan di Tingkat Desa

SUDUTKATA.COM, SAMARINDA – Kepala Kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat (Kubar), Santi, angkat bicara usai dirinya dilaporkan empat warganya ke Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) terkait sengketa keterbukaan informasi publik.
Empat warga tersebut masing-masing bernama Masrani, Mimpin, Murni Hayati, dan Amirudin dan ke empatnya memberi kuasa khusus kepada, Buyung Marajo. Mereka mengajukan permohonan sengketa informasi terhadap Santi selaku termohon. Sidang perdana perkara itu digelar pada Kamis, 18 Desember 2025, di Kantor Komisi Informasi Provinsi Kaltim.
Santi mengatakan, sidang sengketa informasi yang dihadapinya disebut sebagai kasus perdana yang melibatkan kepala desa atau kepala kampung di Kaltim. Ia menyebut, berdasarkan informasi dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), perkara tersebut menjadi contoh awal penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik di tingkat desa.
“Menurut informasi dari PPID, ini percontohan pertama kepala desa yang disidangkan karena keterbukaan informasi,” kata Santi usai persidangan.

Ia menegaskan, selama ini Pemerintah Kampung Muara Tei telah membuka informasi keuangan kepada publik. Salah satunya melalui pemasangan infografis realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APB Kampung) yang dipajang di depan kantor kampung setiap tahun.
“Realisasi APB Kampung kami pajang dalam bentuk infografis di depan kantor desa dan bisa dilihat semua lapisan masyarakat, bahkan dari luar kampung,” ujarnya.
Namun, Santi mengakui adanya ketidakpuasan dari sebagian warga terhadap informasi yang disampaikan. Menurut dia, warga meminta jenis informasi lain yang belum sepenuhnya dipahami apakah termasuk informasi yang wajib dibuka atau justru dikecualikan.
“Ada masyarakat yang dikasih satu informasi, minta informasi yang lain lagi. Kami juga tidak tahu yang diminta itu yang mana, makanya kami hadir di sidang ini untuk tahu batasannya,” kata dia.
Santi menyebut, sidang perdana tersebut akhirnya ditunda untuk agenda mediasi yang dijadwalkan pada Januari 2026. Dalam agenda lanjutan itu, ia meminta agar pihak-pihak terkait di tingkat kabupaten dihadirkan.
“Saya minta dari pihak inspektorat, kepala dinas, dan PPID Kutai Barat bisa hadir. Supaya jelas sampai di mana batas informasi yang boleh dan tidak boleh kami berikan ke publik,” ujarnya.
Ia menilai kehadiran instansi teknis penting agar kepala desa tidak salah langkah dalam menerapkan keterbukaan informasi. Santi bahkan meminta adanya petunjuk tertulis atau surat resmi yang menjelaskan secara rinci klasifikasi informasi publik di tingkat desa.
“Kalau memang boleh semua, saya minta surat resmi. Kalau ada pengecualian A, B, C, juga harus jelas. Jangan kami berjalan sendiri,” katanya.
Menurut Santi, selama ini pemerintah kampung hanya berpegang pada arahan lisan dari pemerintah kabupaten yang menyebut infografis APB Kampung sebagai bentuk keterbukaan informasi yang wajib disampaikan kepada publik. Adapun informasi yang dikecualikan, ia mengaku belum memahami secara detail.
“Terkait yang tidak boleh dibuka, saya juga tidak paham sedetail itu. Tapi kalau secara pribadi, apa pun yang boleh dan diminta masyarakat pasti saya berikan,” ujarnya.
Ia menegaskan tidak memiliki kepentingan untuk menutup atau menyembunyikan informasi publik. Menurut dia, dana desa bukan uang pribadi kepala kampung, melainkan uang negara dan masyarakat.
“Bukan uang saya, bukan untuk saya pribadi. Itu uang pemerintah dan untuk masyarakat,” kata Santi.
Dalam kesempatan itu, Santi juga menyampaikan keluhannya terkait stigma dan kecurigaan masyarakat terhadap kepala desa dalam pengelolaan dana desa. Ia meminta media menyampaikan aspirasi tersebut kepada pemerintah pusat dan daerah.
“Saya mohon disampaikan ke pemerintah di atas kami, supaya dana desa ini tidak membuat kami selalu dicurigai oleh masyarakat,” ujarnya.
Bahkan, Santi mengusulkan agar pengelolaan dana desa tidak lagi ditransfer langsung ke pemerintah desa. Ia berharap dana tersebut dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat atau daerah, sementara desa hanya menerima hasil pelaksanaannya.
“Kalau bisa, dana desa itu pusat saja yang mengatur. ADK juga dari daerah. Kami kepala desa jangan bersentuhan langsung dengan uang,” katanya.
Ia menilai pengelolaan dana desa yang bersentuhan langsung dengan kepala desa kerap memicu kecurigaan, meski telah diatur secara ketat melalui petunjuk teknis. Kondisi itu, menurut dia, berdampak pada rusaknya hubungan sosial di masyarakat, termasuk memudarnya budaya gotong royong.
“Karena ada dana desa, masyarakat berpikir ngapain gotong royong, kan ada uang pemerintah,” ujarnya.
Santi mengakui adanya oknum kepala desa yang menyalahgunakan dana desa dan berujung kasus hukum. Namun ia menilai stigma tersebut ikut menimpa kepala desa lain yang bekerja secara jujur.
“Kami yang tidak melakukan, ikut kena kecurigaan dan perundungan,” katanya.
Ia juga berharap pemerintah mengevaluasi sistem pengelolaan keuangan desa, termasuk penyaluran tunjangan kepala desa agar langsung ditransfer ke rekening pribadi tanpa melalui pengelolaan manual.
“Intinya, jangan buat kami bersentuhan dengan uang. Itu lebih membuat kami nyaman dan tidak dicurigai,” ujar Santi.
Terakhir, Santi menegaskan bahwa jabatan kepala desa merupakan panggilan pengabdian, bukan sarana mencari kekayaan atau kehormatan.
“Kalau mau cari cukup atau kaya, jangan jadi kepala desa. Nanti ujungnya korupsi. Kepala desa itu pelayanan,” kata dia.
Ia berharap sistem pemerintahan desa ke depan dapat dibenahi agar kepala desa yang bekerja dengan tulus tidak berada dalam posisi rawan kecurigaan maupun godaan penyalahgunaan wewenang.
Sementara itu, di konfirmasi usai sidang, Buyung, menegaskan bahwa permohonan sengketa informasi yang diajukan ke Komisi Informasi Provinsi Kaltim secara spesifik meminta dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APB Kampung) Muara Tae secara lengkap dan detail.
Dokumen yang dimohonkan meliputi APB Kampung murni tahun anggaran 2021 hingga 2025 serta dokumen realisasi APB Kampung tahun 2021 sampai 2024. Secara keseluruhan, terdapat sembilan dokumen anggaran yang diminta warga melalui mekanisme keterbukaan informasi publik.
Menurut Buyung, informasi keuangan yang selama ini dipublikasikan pemerintah kampung dalam bentuk infografis atau baliho belum memenuhi prinsip keterbukaan informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Ia menilai publik berhak mengetahui perencanaan hingga realisasi anggaran secara rinci.
“Apa yang dipasang selama ini hanya ringkasan, bukan dokumen anggaran yang detail,” kata Buyung.
Ia menegaskan, permintaan dokumen tersebut tidak dilandasi tuduhan korupsi maupun upaya memperkarakan kepala kampung.
“Ini murni soal hak warga untuk mengakses informasi dan ikut mengawasi pembangunan kampung,” tukasnya. (Mifa)
