Mahathir 100 Tahun, Tetap Tajam, Tetap Melawan

INTERNASIONAL

SUDUTKATA.COM, MALAYSIA – Tak banyak manusia di dunia yang bisa meniup lilin ulang tahun ke-100 sambil tetap aktif kerja lima hari dalam seminggu. Tun Dr. Mahathir Mohamad adalah salah satunya. Tepat pada Kamis, 10 Juli 2025, tokoh legendaris Malaysia itu resmi berusia satu abad, dan seperti biasa, dia tak berhenti mengejutkan dunia.

Di usia yang bagi kebanyakan orang sudah identik dengan kursi roda atau selimut tebal, Mahathir masih bicara soal geopolitik, menyusun opini tajam, dan menyambangi kantornya di pusat administrasi Malaysia. Sebuah usia yang tak hanya panjang, tapi juga penuh warna.

“Banyak orang hidup sampai tua, tapi tak banyak yang tetap berpikir jernih dan berbicara lantang seperti Mahathir,” kata seorang pejabat muda Malaysia yang kerap diminta masukan oleh sang doktor.

Tak ada tanda-tanda Mahathir ingin pensiun dari perdebatan. Otaknya tetap encer, gerak-geriknya masih lincah, dan komentar-komentarnya terus bikin panas telinga para penguasa dunia. Bahkan dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-100, ia masih sempat melontarkan kritik pedas terhadap Donald Trump.

“Trump itu membuat banyak kekacauan. Kalau saya jadi dia, saya berhenti dalam tiga bulan,” katanya dalam wawancara dengan AFP. Entah bercanda atau serius, tapi jelas ia tidak kehilangan daya gigit.

Bicara soal Mahathir tak lengkap tanpa menyinggung catatan sejarahnya yang belum tertandingi, dua kali menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia dalam dua zaman berbeda.

Mahathir Mohamad
Perdana Menteri Malaysia ke-4 dan ke-7 saat memotong kue ulang tahun yang ke 100nya. (ft.instgram @Chedetofficial)

Periode pertama, ia menjabat dari 1981 hingga 2003. Saat itu ia masih berusia 56 tahun dan dikenal sebagai pemimpin yang visioner dan kadang kontroversial. Lalu, seperti babak film yang tak terduga, Mahathir kembali ke tampuk kekuasaan pada 2018, kali ini di usia nyaris 93 tahun. Meski hanya dua tahun, periode kedua itu penuh kejutan dan gebrakan.

Satu-satunya tokoh yang berhasil menjadi perdana menteri dua kali dengan selisih hampir dua dekade, Mahathir ibarat buku sejarah hidup yang belum selesai ditulis.

Julukan ‘Soekarno Kecil’ pun tak datang tanpa alasan. Banyak yang melihat kemiripan antara Mahathir dan Presiden pertama Indonesia, keras kepala, cerdas, dan lantang mengkritik dominasi Barat. Keduanya berani bicara keras saat banyak pemimpin dunia memilih diam.

Mahathir tak segan menyebut demokrasi ala Barat sebagai sistem yang kerap munafik. “Mereka bicara soal kebebasan, tapi membungkam siapa pun yang berbeda suara,” katanya dalam salah satu pidatonya yang viral tahun lalu.

Di mata pendukungnya, Mahathir adalah simbol perlawanan. Di mata pengkritiknya, ia figur keras kepala yang tak mau pensiun. Tapi satu hal yang pasti: ia tak pernah kehilangan relevansi.

Setiap pekan, Mahathir masih datang ke kantornya di Putrajaya. Ia membaca laporan, menulis opini, dan menerima tamu-tamu dari dalam dan luar negeri. ‘Kadang saya capek,’ ujarnya sambil tersenyum. “Tapi kalau otak masih jalan, kenapa harus berhenti,” tambahnya.

Meski banyak yang menyarankan agar ia rehat dan menikmati masa tua, Mahathir justru makin aktif. Dunia mungkin berubah, tapi semangat perlawanan Mahathir seperti tak tergerus waktu.

Seratus tahun bukan sekadar angka. Itu adalah lambang daya tahan, daya pikir, dan daya juang. Mahathir Mohamad telah melalui perang, kudeta, jatuh-bangun politik, dan perubahan zaman namun tetap berdiri sebagai simbol pemikiran bebas dan kritik terhadap kekuasaan yang berlebihan.

Di tengah dunia yang makin takut bicara lantang, Mahathir tetap bicara keras. Dan mungkin, justru itulah warisan terbesarnya bagi generasi mendatang. (MIFA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *